Selasa, 09 Oktober 2007

Karena Wanita Ingin dimengerti

Karena Wanita Ingin diMengerti

[BenDieL]


"Wanita ibarat pasir di telapak tangan, jika kita genggam dengan erat maka sedikit demi sedikit akan jatuh lewat celah jari-jari, jika kita biarkan maka akan utuh."
[Kahlil al-Gibran]

Perempuan, makhluk yang mempunyai daya tarik tersendiri, memiliki keindahan, keanggunan, kelembutan, kasih sayang, dan sifat-sifat yang membuat dirinya terlihat anggun dan cantik. Dengan kecantikan dan kelembutan ia seolah olah badai dahsyat yang menaklukkan karang sekeras apapun. Tapi masih banyak kaum laki-laki yang belum bisa menerima dan mengakui bahwa perempuan adalah pembuat kehidupan, bukan laki-laki dalam masyarakat Islam saja, namun disetiap masyarakat dan setiap kebudayaan. Dari sini kita dapat memahami penindasan terhadap perempuan apa pun bentuknya merupakan tindakan yang tidak menghargai keindahan yang diciptakan oleh Tuhan.
Begitu juga dengan kaum perempuan sendiri dalam realitasnya masih banyak perempuan yang tidak memahami tentang hakekat keperempuannya, bahwa dalam dirinya tersimpan begitu banyak potensi yang tidak dimiliki kaum laki-laki. Yang mereka tahu perempuan hanyalah sebagai badal gholadh yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan timun ungkuk jogo imbuh, dalam artian selalu dinomer duakan, dan dimarjinalkan atas segala hak dan perannya.
Realitas semacam itu tidak lain adalah korban dari konstruk social masyarakat yang mengagungkan kebudayaan patriarki, dimana kaum lelaki mendominasi dalam segala hal termasuk peran dan derajat dalam bersosial. Dengan kebudayaan yang telah mendarah daging itu kaum perempuan telah berabad-abad hidup di alam bawah sadar yang kemudian hanya menerima apa adanya peran dan derajat wanita, mereka belum sadar bahwa selama ini hak perempuan telah dirampas oleh konstruk kebudayaan patriarki. Di sini agama pergunakan sebagai perangkat idiologis untuk menegakkan dominasi laki-laki. Agama yang seharusnya menjadi tuntunan bagi pemeluknya kini seakan telah berganti fungsinya.
Al-Quran dan Hadis adalah dua teks keagamaan (baca:Islam) yang harus dibaca dan di pahami berdasarkan konteks budaya, social, dan masa awal dimana kebudayaan dihasilkan untuk menemukan relevansinya dengan konteks kekinian. Pembacaan konteks menjadi sarana yang tepat untuk memahami pesan-pesan esensial untuk kemudian diartikulasikan dalam konteks kekinian.
Kerap kali kekerasan rumah tangga terdengar ditelinga kita, namun para wanita tak mampu berbuat banyak, hal ini mungkin karena asumsi mereka, semua itu layak diterima, dan diam merupakan salah satu dari kepatuhan mereka terhadap suami karena suami diasumsikan sebagai orang yang berperan dominan dalam rumah tangga, dan seorang istri hanya mempunyai peran yang dalam bahasa jawa disebut 3M (masak, macak, manak). Padahal kejadian semacam itu sudah melanggar norma baik agama maupun negara.

Kejadian Wanita
Dalam masalah kejadian wanita, kata nafs pada surat an-Nisa': 1, tidak semestinya ditafsirkan Adam, seperti anggapan mufasir tradisional, sebab konteks awal turunnya ayat ini tidak hanya bermaksud menolak atau mengkalaim tradisi-tradisi jahiliyah yang masih menganggap wanita sebagai makhluk yang rendah dan hina, tetapi juga sekaligus mengangkat harkat dan martabat mereka, sebagaimana terlihat pada ayat-ayat sesudahnya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang sesuai dengan konteks ini, maka kata nafs harus ditafsirkan dengan jenis, sebagaimana dipahami para mufasir modern, bahwa baik lelaki maupun wanita diciptakan dari jenis yang sama.
Kesamaan penciptaan dalam penafsiran ini, dimaksudkan untuk menolak pemahaman harfiah ulama-ulama dahulu terhadap hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari, Muslim dan at-Tirmizi, bahwa "Saling berpesanlah untuk berbuat baik pada wanita, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok (Adam)_" Rasid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar, dengan tegas mengatakan bahwa ide semacam ini sebenarnya bukan berasal dari Islam, tetapi diambil dari kitab Perjanjian Lama. Sehingga, "Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab Perjanjian Lama (Kejadian II:21) dengan redaksi mengarah kepada pemahaman di atas (pemahaman harfiah), niscaya pendapat yang keliru itu tidak akan pernah terlintas dalam benak seorang muslim".
Agar hadis ini bisa relevan dengan semangat al-Quran, terutama pada masa sekarang ini, maka harus dipahami secara metaforis (untuk tidak meragukan keabsahannya) bahwa hadis tersebut memperingatkan kepada laki-laki agar memperlakukan wanita secara bijaksana karena ada sifat dan kecenderungan yang tidak sama dengan laki-laki, yang mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum laki-laki untuk bersikap tidak wajar dan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Dengan demikian, hadis ini justru mengakui kepribadian dan eksistensi wanita.
Dalam hal lain seperti contohnya masalah poligami, banyak kaum lelaki mnggunakan dasar surat an-Nisa: 3 yang berbicara tentang poligami dengan persyaratan agar lelaki berlaku adil, pesan inti yang yang dikemukakan sebenarnya adalah adil, bukannya bahwa lelaki boleh beristri lebih dari satu. Dalam konteks tanah Arab masa itu, dimana lazim bagi kaum lelaki beristri puluhan bahkan ratusan menjadi hanya empat merupakan penurunan yang sangat drastis dan menuju ketahap lebih adil. Ini berarti ayat tersebut secara psikologis mendeskripsikan pembelaan hak-hak kaum perempuan untuk tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh kaum lelaki. Prinsip keadilan sebagaimana pesan hakiki ayat ini akan memerlukan reformasi dalam rinciannya ketika harus diterapkan dalam konteks waktu dan budaya masyarakat yang berbeda.
Pada zaman sekarang ini tuntutan keadilan itu tidak mesti disyarati dengan banyak istri, tapi satu istri pun harus dapat berlaku adil dalam hal peran. Banyak seorang istri mengeluh bukan karena dimadu tapi juga karena hak-hak mereka dirampas dan dilecehkan, terkadang mereka harus menerima tamparan dan hinaan dari suami dengan alasan non rasional. Semua ini walau menyakitkan terpaksa harus diterima oleh seorang istri, karena kuatnya tradisi, kebudayaan dan doktrin agama yang sangat kuat dan bersifat patriarkis, yang secara turun-menurun diajarka kepada mereka secara harfiah.

Tidak ada komentar: